Rabu, 30 Januari 2008

Bencana Alam dan Delegitimasi

Oleh; Ach. Faidy Suja'ie

Siapa yang tidak kenal Indonesia? Negara yang terhampar dari Sabang sampai Merauke ini mempunyai berjuta kekayaan alam yang melimpah, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo, kata inilah yang mampu menggambarkan kekayaan Indonesia. Selain kaya budaya, bahasa, agama dan adat istiadat, ternyata belakangan ini bumi pertiwi juga tercatat sebagai negara yang kaya akan bencana alam. Hal ini, disebabkan oleh posisi Indonesia yang terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng besar yang aktif, yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia.

Tiga tahun terakhir merupakan tahun bencana bagi bangsa Indonesia, dimana rakyat Indonesia mengawali pergantian tahun ini dengan berbagai bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami) yang hampir merata diseluruh pelosok tanah air, kondisi alam inilah yang memaksa masyarakat berdesak-desakan di wilayah pengungsian, berjuang melawan ketidaknyamanan untuk mempertahankan hidupnya sambil menunggu bantuan yang akan diberikan oleh saudara-saudaranya dan kucuran dana dari pemerintah.

Di kantong-kantong pengungsian inilah mereka harus berperang dengan banyaknya gangguan kesehatan, karena terbatasnya bahan makanan yang dapat dikonsumsi, lingkungan yang serba kotor dan kumuh, serta carut-marutnya lingkungan hidup disekitarnya. Tentunya hal ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah untuk menanggulanginya dan menjadi tanggung jawab lembaga legislatif untuk mengontrol setiap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Berawal dari peristiwa tsunami di Aceh yang menelan korban 285.000 jiwa, termasuk korban di negara – negara lain, kemudian banjir bandang di Jember, merupakan peristiwa bencana alam yang mengawali pergantian tahun 2006, disusul gempa di Jogja dan jawa Tengah. Bencana geologi terkini adalah bencana alam yang menimpa masyarakat pantai Pangandaran dan sekitarnya.

1. Berebut Muka

Analisis Erving Goffman, sosiolog ternama abad ke-20 tentang tingkah laku manusia, dia mengibaratkan prilaku manusia sebagai metafora teatrikal. Dimana lingkungan masyarakat menjelma menjadi sebuah panggung sandiwara dan orang-orang di dalamnya bertindak sebagai aktor dan aktris yang menyusun performa untuk memberi kesan baik pada yang lainnya.

Tampaknya analogi di atas sangat relevan untuk digunakan dalam melihat hiruk-pikuk yang terjadi di bumi nusantara selama negeri ini diguncang bencana alam yang berkepanjangan. Fenomena ditempat-tempat pengungsian ramai sekali dengan kunjungan orang, mulai dari rakyat biasa sampai rakyat yang tidak biasa (wakil rakyat atau legislatif dan ekesekutif).

Kelompok pertama; golongan yang menjadikan wilayah bencana sebagai tempat rekreasi (bencana-tainment), mereka datang berbondong-bondong dengan keinginan menikmati nuansa alam pasca bencana. Kerena itulah, di beberapa tempat terjadinya bencana sering terjadi kecemburuan bagi korban bencana, mereka beranggapan telah ditempatkan sebagai tontonan masyarakat banyak.

Kelompok kedua; elit politik dan elit pemerintahan yang datang berkunjung ketempat-tempat bencana dengan seribu janji dan sejuta iming-iming bagi korban bencana, seolah-olah mereka tampak murung dan sedih melihat penderitaan yang menimpa masyarakat korban bencana, nyatanya, semua itu dilakukan untuk membangun image di masyarakat semata. Alih-alih ingin membantu, secara personal baik birokrat maupun politisi dari level paling bawah sampai level paling atas, dengan dorongan ingin berkuasa (will to power) datang dengan janji, lalu setelah itu selesai sudah.

Kelompok ketiga; Ormas, Parpol dan LSM, terjadinya bencana alam di seluruh pelosok negeri mengundang perhatian banyak kalangan untuk memberikan bantuan, datanglah tenaga-tenaga sukarelawan dari berbagai instansi dan institusi, semua akan mafhum, bahwa kelompok ketiga inilah yang melakukan evakuasi korban, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam, tetapi tidak dapat dipungkiri juga, bahwa bencana alam menjadi lahan basah bagi kelompok ini untuk mengais lebih banyak lagi proyek yang mengalir pada mereka.

Krisis Legitimasi

Oleh karena tidak didasari rasa tanggung jawab sebagai pemerintah yang secara de jure mempunyai kewajiban untuk melindungi masyarakatnya, termasuk perlindungan masyarakat dari bencana alam, meskipun menurut logika, memang tidak mungkin menghentikan bencana dan menghalangi bencana sebagai rutinitas alamiah, akan tetapi bagi wilayah yang rawan bencana, seharusnya Indonesia tidak hanya melakukan evakuasi, rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap korban bencana alam, tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada saat sebelum terjadinya bencana, usaha ini dapat memperkecil korban jiwa dan harta kekayaan.

Benar apa yang dikatakan Micheal Foucault (1980) bahwa perlawanan telah menjadi bagian yang melekat dari sebuah kekuasaan. Penerapan kekuasaan selalu berbanding lurus dengan munculnya sejumlah kekerasan di masyarakat. Menghadapi kenyataan sebuah kekuasaan dan “teatrikal” penguasa, para korban bencana alam akan melakukan perlawanan. Penjarahan, perampokan, perusakan fasiltas umum, dan berlaku culas adalah serangkaian strategi perlawanan yang menentang dehumanisasi dan “teatrikal” elit politik dan kaum birokrat.

Untuk menghindari resistensi legitimasi pemerintah, paling tidak harus ada langkah kongkret dari pemerintah untuk membuat janji-janjinya menjadi nyata, dua hal yang ingin penulis sampaikan disini, pertama, pencegahan bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadai bencana alam jauh lebih penting dilakukan sebelum bencana alam terjadi. Kedua, korban bencana alam bukan kawula yang hanya dijadikan objek meraih kekuasaan politik semata, daerah bencana bukan tempat rekreasi serta tidak bijak dijadikan tempat mengais rezeki. Oleh karena itu, wujudkan janji-janji pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban bencana alam di tempat pengungsian, realisasikan program rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana. Dengan dua langkah inilah setidaknya dapat membantu Indonesia keluar dari krisis bencana alam dan krisis legitimasi.

Akhirnya, bagaimanapun harus diakui, bahwa semua kelompok yang disebutkan diatas, merupakan pihak-pihak yang paling berjasa mengembalikan kondisi bangsa dan melakukan rekonstruksi daerah bencana alam, tanpa mereka, Indonesia tak ubahnya seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA), karena setiap detik, sepanjang waktu selalu saja dilanda bencana dan bencana.

Ach. Faidy Suja'ie, Ketua Umum PMII Cabang Jember

Dipublikasikan Inovasi Online PPI Jepang, Edisi Vol.8/XVIII/November 2006